Sabtu, 11 Agustus 2012

DOMINASI PRODUK CINA DI INDONESIA


DOMINASI PRODUK CINA
DI INDONESIA


Description: Description: logo2
 










DI SUSUN OLEH:
SUKMIKA MARDALENA
Politik dan Pemerintahan Negara Asia Timur - Kelas A

Dosen Pengampu:
Tri Joko Waluyo

ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS RIAU
2012
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan-Nya mungkin Penulis tidak akan sanggup menyelesaikan makalah yang berjudul “ Dominasi produk Cina di Indonesia ” ini  dengan baik dan lancar.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas wawasan, dan mempelajari bagaimana awalmula berkembangnya dominasi asing dalam perekonomian Indonesia, hingga akhirnya Indonesia tidak mampu membendung dominasi Cina serta solusi yang tepat terkait masalah tersebut.
Makalah ini di susun  dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah SWT akhirnya makalah ini dapat terselesaikan. Untuk itu Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat Penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.

                                                                                    Pekanbaru,     Agustus  2012

                                                                                                               Penulis


                                                                  DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR  ............................................................................................ i
DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang ........................................................................................ 1
2.      Metode Penulisan ................................................................................... 1
3.      Tujuan dan manfaat ................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
1.      Penyebab Dominasi Perusahaan Asing di Indonesia .............................. 3         
2.      Perekonomian Cina ................................................................................. 3
3.      Perekonomian Indonesia ......................................................................... 7
4.      Hubungan Indonesia-Cina ...................................................................... 8
5.      Rahasia dibalik Kesuksesan Produk Cina menguasai Pasar Dunia ......... 10
6.      Dominasi Produk Cina di Indonesia ....................................................... 14
7.      Dampak Ketergantungan Indonesia terhadap Produk Cina ................... 16
8.      Solusi terhadap Dominasi Produk Cina di Indonesia ............................. 17
BAB III PENUTUP
1.      Kesimpulan ............................................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 21

BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Persoalan mengenai ketergantungan Indonesia terhadap produk Cina selalu memberikan kesan yang menarik untuk di bahas.  Tidak dapat di pungkiri bahwa dominasi produk-produk buatan Cina telah membanjiri pasar domestik Indonesia. Berbagai produk dengan kualitas yang cukup baik namun di jual dengan harga yang murah menarik perhatian masyarakat bahkan melebihi peminat  terhadap  barang dalam negri sendiri. Selain dengan harga relatife rendah, produk Cina juga terlihat lebih modern dan mengikuti perkembangan zaman sekarang, mungkin sebagian masyarakat sekarang yang up to date selalu memilih produk Cina untuk kebutuhan sehari-hari mereka.
Secara ekonomi, Cina meskipun negara komunis, penduduknya adalah beberapa kapitalis yang terbaik di planet ini dengan sejarah sebuah kapal tua yang membawa seribu orang terlibat dalam perdagangan dengan pelabuhan-pelabuhan jauh. Seiring dengan perkembangan jamannya, masyarakat cina yang sudah lama melebarkan sayap bisnis di Indonesia semakin lam semakin bertambah pesat. Dengan kekuatan otak dan skill yang mereka punya, maka bisnis yang mereka jalani semakin bertambah maju.
Sudah bukan rahasia, bangsa Indonesia mengalami ketergantungan terhadap produk-produk buatan China. Jika tidak segera ditindak lanjuti, hal tersebut tentu akan mengakibatkan dampak buruk bagi bangsa Indonesia.  Semakin banyaknya dominasi Cina, maka semakin sedikit peranan dan perkembangan ekonomi dalam negri. Bahkan ada yang mengatakan bahwa “produk cina jadi raja, industri lokal tak berdaya”.
Oleh sebab itu baik pemerintah dan segenap masyarakat Indonesia harus melakukan berbagai cara untuk mengurangi dominasi produk Cina di Indonesia.


2. Metode Penulisan
       Metode yang penulis gunakan dalam makalah ini adalah metode penulisan referensi dan pembahasan. Yang mana penulis menggunakan banyak literature dalam penulisan makalah ini, seperti buku-buku, internet, dan sumber-sumber lain. Dalam penulisan makalah ini penulis juga melakukan pembahasan mengenai apa-apa saja yang perlu di ambil dan di jadikan referensi.
       Dalam pembahasan penulis menyaring semua informasi yang ada dan merangkumnya menjadi sebuah makalah yang utuh dan lengkap. Metode penulisan yang penulis gunakan ini memiliki kelebihan dari metode-metode yang lain karena selain sederhana, metode ini juga paling gampang untuk di mengerti dan diolah karena sumbernya berasal dari buku-buku.
3.      Tujuan dan Manfaat
3.1 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah selain untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah ’’ Politik dan Pemerintahan Negara Asia Timur ’’ yang diberikan pada penulis serta untuk memberikan gambaran umum mengenai bagaimana dominasi produk-produk dari Cina yang telah membanjiri pasar domestik Indonesia.

3.2 Manfaat
Sedangkan manfaat dari makalah ini adalah diharapkan dapat :
1.      Menambah wawasan pembaca khususnya mahasiswa mengenai hubungan perekonomian Cina dan Indonesia,
2.      Menaruh minat dan mendorong pembaca terutama mahasiswa untuk meningkatkan pemahaman dan mencari jalan keluar dalam permasalahan kekhawatiran atas dominasi Cina di Indonesia,
3.      Mendorong pembaca untuk lebih mencintai produk dalam negeri dll.



BAB II
PEMBAHASAN

1.      Penyebab Dominasi Perusahaan Asing di Indonesia
Membanjirnya perusahaan asing di Indonesia membuat iklim persaingan bisnis semakin memanas. Tidak sedikit perusahaan lokal dikerdilkan oleh kedigdayaan perusahaan non pribumi. Adapun penyebab dominasi perusahaan asing di Indonesia adalah :
a.       Karena pemberlakuan kebijakan ekonomi liberal melalui beberapa kesepakatan seperti; WTO, ACFTA dan ASEAN Economy Community.
Kesepakatan tersebut akan memberikan dua dampak. Satu sisi akan menarik banyak investor, tapi di sisi lain justru akan menggerus bisnis domestik, khususnya para pengusaha kecil dan menengah. Misalnya, gempuran barang-barang kosmetik dan furnitur dari Cina, kedai/toko convience store asing, produk tektil serta manufaktur.
b.      Penyebab kedua karena ketidaksiapan pemerintah dalam menghadapi liberalisasi ekonomi. Jika liberalisasi ekonomi tetap dilakoni tanpa adanya perbaikan regulasi, kerugian negara akan semakin besar, baik yang terlihat maupun yang tidak. Indonesia hanya akan dijadikan sebagai pasar dan penonton dalam banyak industri. Kondisi seperti itu sudah bisa terlihat dibeberapa sektor seperti : F&B dan FMCG. [1]
Oleh sebab itu untuk lepas dari dominasi produk Cina, beberapa langkah perlu dilakukan. Pemerintah harus melindungi pasar domestik serta memberdayakan pedagang dalam negeri, agar produk lokal mampu bersaing dengan asing.
2.      Perekonomian Cina
Cina mencirikan ekonominya sebagai Sosialisme dengan ciri Cina. Sejak akhir 1978, kepemimpinan Cina telah memperharui ekonomi dari ekonomi terencana Soviet ke ekonomi yang berorientasi-pasar tapi masih dalam kerangka kerja politik yang kaku dari Partai Komunis. Untuk itu para pejabat meningkatkan kekuasaan pejabat lokal dan memasang manajer dalam industri, mengijinkan perusahaan skala-kecil dalam jasa dan produksi ringan, dan membuka ekonomi terhadap perdagangan asing dan investasi. Kearah ini pemerintah mengganti ke sistem pertanggungjawaban para keluaga dalam pertanian dalam penggantian sistem lama yang berdasarkan penggabunggan, menambah kuasa pegawai setempat dan pengurus kilang dalam industri, dan membolehkan pelbagai usahawan dalam layanan dan perkilangan ringan, dan membuka ekonomi pada perdagangan dan pelabuhan asing. Pengawasan harga juga telah dilonggarkan. Ini mengakibatkan Cina daratan berubah dari ekonomi terpimpin menjadi ekonomi campuran.
Pemerintah RRC tidak suka menekankan kesamarataan saat mulai membangun ekonominya, sebaliknya pemerintah menekankan peningkatan pendapatan pribadi dan konsumsi dan memperkenalkan sistem manajemen baru untuk meningkatkan produktivitas. Pemerintah juga memfokuskan diri dalam perdagangan asing sebagai kendaraan utama untuk pertumbuhan ekonomi, untuk itu mereka mendirikan lebih dari 2000 Zona Ekonomi Khusus (Special Economic Zones, SEZ) di mana hukum investasi direnggangkan untuk menarik modal asing. Hasilnya adalah PDB yang berlipat empat sejak 1978. Pada 1999 dengan jumlah populasi 1,25 milyar orang dan PDB hanya $3.800 per kapita, Cina menjadi ekonomi keenam terbesar di dunia dari segi nilai tukar dan ketiga terbesar di dunia setelah Uni Eropa dan Amerika Serikat dalam daya beli. Pendapatan tahunan rata-rata pekerja Cina adalah $1.300. Perkembangan ekonomi Cina diyakini sebagai salah satu yang tercepat di dunia, sekitar 7-8% per tahun menurut statistik pemerintah Cina. Ini menjadikan Cina sebagai fokus utama dunia pada masa kini dengan hampir semua negara, termasuk negara Barat yang mengkritik Cina, ingin sekali menjalin hubungan perdagangan dengannya. Cina sejak tanggal 1 Januari 2002 telah menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia.
Cina daratan terkenal sebagai tempat produksi biaya rendah untuk menjalankan aktivitas pengilangan, dan ketiadaan serikat sekerja amat menarik bagi pengurus-pengurus perusahaan asing, terutama karena banyaknya tenaga kerja murah. Pekerja di pabrik Cina biasanya dibayar 50 sen - 1 dolar Amerika per jam (rata-rata $0,86), dibandingkan dengan $2 sampai $2,5 di Meksiko dan $8.50 sampai $20 di AS. Buruh-buruh RRC ini seringkali terpaksa bekerja keras di kawasan berbahaya dan mudah ditindas majikan karena tiada undang-undang dan serikat sekerja yang bisa melindungi hak mereka.
Pada akhir 2001, tarif listrik rata-rata di Provinsi Guangdong adalah 0,72 yuan (9 sen Amerika) per kilowatt jam, lebih tinggi dari level rata-rata di Cina daratan 0,368 yuan (4 sen AS). Cina resmi menghapuskan "direct budgetary outlays" untuk ekspor pada 1 Januari 1991. Namun, diyakini banyak produsen ekspor Cina menerima banyak subsidi lainnya. Bentuk subsidi ekspor lainnya termasuk energi, bahan material atau penyediaan tenaga kerja. Ekspor dari produk agkrikultur, seperti jagung dan katun, masih menikmati subsidi ekspor langsung. Namun, Cina telah mengurangi jumlah subsidi ekspor jagung pada 1999 dan 2000.[2]
Biaya bahan mentah yang rendah merupakan satu lagi aspek ekonomi Cina. Ini disebabkan persaingan di sekitarnya yang menyebabkan hasil berlebihan yang turut menurunkan biaya pembelian bahan mentah. Ada juga pengawasan harga dan jaminan sumber-sumber yang tinggal dari sistem ekonomi lama berdasarkan Soviet. Saat negara terus menswastakan perusahaan-perusahaan miliknya dan pekerja berpindah ke sektor yang lebih menguntungkan, pengaruh yang bersifat deflasi ini akan terus menambahkan tekanan keatas harga dalam ekonomi.Insentif pajak "preferensial" adalah salah satu contoh lainnya dari subsidi ekspor. Cina mencoba mengharmoniskan sistem pajak dan bea cukai yang dijalankan di perusahaan domestik dan asing. Sebagai hasil, pajak "preferensial" dan kebijakan bea cukai yang menguntungkan eksportir dalam zona ekonomi spesial dan kota pelabuhan telah ditargetkan untuk diperbaharui.
Ekspor Cina ke Amerika Serikat sejumlah $125 milyar pada 2002; ekspor Amerika ke Cina sejumlah $19 milyar. Perbedaan ini desebabkan utamanya atas fakta bahwa orang Amerika mengkonsumsi lebih dari yang mereka produksi dan orang Cina yang dibayar rendah tidak mampu membeli produk mahal Amerika. Amerika sendiri membeli lebih dari yang dibuatnya dan sekalipun rakyat RRC ingin membeli barangan buatan Amerika, mereka tidak dapat berbuat demikian karena harga barang Amerika terlalu tinggi. Faktor lainnya adalah pertukaran valuta yang tidak menguntungkan antara Yuan Cina dan dolar AS yang di"kunci" karena RRC mengikatkannya kepada kadar tetap 8 renminbi pada 1 dolar. Pada 21 Juli 2005, Bank Rakyat Cina mengumumkan untuk membolehkan mata uang renminbi ditentukan oleh pasaran, dan membolehkan kenaikan 0,3% sehari. . Ekspor Cina ke Amerika Serikat meningkat 20% per tahun, lebih cepat dari ekspor AS ke Cina. Dengan penghapusan kuota tekstil, RRC sudah tentu akan menguasai sebagian besar pasaran baju dunia.
Pada 2003, PDB Cina dari segi purchasing power parity mencapai $6,4 trilyun, menjadi terbesar kedua di dunia. Menggunakan penghitungan konvensional Cina diurutkan di posisi ke-7. Meski jumlah populasinya sangat besar, ini masih hanya memberikan PNB rata-rata per orang hanya sekitar $5.000, sekitar 1/7 Amerika Serikat. Laporan pertumbuhan ekonomi resmi untuk 2003 adalah 9,1%. Diperkirakan oleh CIA pada 2002 bahwa agrikultur menyumbangkan sebesar 14,5% dari PNB Cina, industri dan konstruksi sekitar 51,7% dan jasa sekitar 33,8%. Pendapatan rata-rata pedesaan sekitar sepertiga di daerah perkotaan, sebuah perbedaan yang telah melebar di dekade terakhir.
Pada tahun 1978 total panjang jalan raya di Cina hanya 89.200 km, dan pada tahun 2002 meningkat tajam menjadi 170.000 km. Pada tahun 1988, jalan tol pertama dibuka dengan total panjang 185 km, sementara pada tahun 2001 sudah mencapai 19.000 km. Untuk pelabuhan, setidaknya saat ini Cina memiliki 3.800 pelabuhan angkut, 300 di antaranya dapat menerima kapal berkapasitas 10.000 MT. Tahun 2001, Cina menghasilkan tenaga listrik sebesar 14,78 triliun kwh. Dan, direncanakan pada tahun 2009, Cina bakal mengoperasikan PLTA terbesar di dunia yang menghasilkan tenaga listik sebesar 84,7 triliun kwh. Sementara, untuk saluran telepon (fixed line), pada tahun 2002 Cina memiliki 207 juta sambungan. Padahal, tahun 1989 hanya ada 5,68 juta sambungan. 
 
Sebuah studi terakhir menunjukkan bahwa negara-negara berkembang di Asia Timur membutuhkan lebih dari 200 miliar dolar AS per tahunnya selama 2006-2010 untuk membangun infrastrukturnya. Dari total kebutuhan tersebut, sebagian besar (80%) merupakan kebutuhan Cina dalam membangun infrastruktur (lihat, misalnya, mega proyek Three Gorges Dam, Kereta Api Super Cepat Beijing-Shanghai, dan sebagainya). 
Oleh karena ukurannya yang amat luas dan budaya yang amat panjang sejarahnya, RRC mempunyai tradisi sebagai sebuah negara penguasa ekonomi. Dalam kata Ming Zeng, profesor pengurus di Shanghai,
Dalam sebagian statistik, pada pengujung abad ke 16 sekalipun, RRC mempunyai sepertiga PDB. Amerika Serikat yang gagah pada masa kini hanya mempunyai 20%. Jadi, jika Anda membuat perbandingan sejarah ini, tiga atau empat ratus tahun terdahulu, Cina tentulah kuasa terbesar dunia. Percobaan mewujudkan kembali keadaan yang membanggakan ini sudah tentu adalah salah suatu tujuan orang Tionghoa”.
Maka tidak mengherankan fenomena kebanjiran orang bukan Tionghoa dunia yang lain mau mempelajari Bahasa Tionghoa ini dan kegeraman Amerika dan Barat terhadap Cina secara umum terjadi pada skenario politik dunia pada hari ini.
Akan tetapi, jurang pengagihan kekayaan di antara pesisiran pantai dan kawasan pendalaman Cina masih amat besar. Untuk menandingi keadaan yang berpotensi mengundang bahaya ini, pemerintah melaksanakan strategi Pembangunan Cina Barat pada tahun 2000, Pembangunan Kembali Cina Timur Laut pada tahun 2003, dan Kebangkitan Kawasan Cina Tengah pada tahun 2004, semuanya bertujuan membantu kawasan pedalaman Cina turut membangun bersama.
3.      Perekonomian Indonesia
Struktur ekonomi atau komposisi ekonomi Indonesia dapat dilihat dari komposisi GNP, dari segi lapangan kerja atau employment dan dari segi hubungan ekonomi Internasional. Dari segi komposisi GNP atau sector ekomoni, pada umunya dilihat dari segi sector industry dan sektor pertanian.
Apabila dilihat dari segi sector industry dan pertanian, maka Indonesia sampai dewasa ini terlihat bahwa sector pertaniannya masih dominan (dalam arti lebih dari 20% GNP). Jadi perekonomian Indonesia bersifat agraris atau berorientasi pada sector pertanian. Sudak tentu pertanian dalam arti luas yang meliputi pula sector kehutanan, perkebunan, perikanan, holtikultura, dan lain-lain. Pembangunan ekonomi dalam hal ini berarti industrilisasi, yaitu perekonomian yang berorientasi pertanian diubah ke orientasi sector industry. Struktur industrial berarti bahwa sector industry akan meliputi paling tidak 20% dari GNP.  Selain itu perekonomian Indonesia masih bersifat atau berorientasi pada ekspor-impor atau perniagaan luar negeri (internasional). Ketergantungan ekspor yang terdiri dari produk primer dan ketergantunganimpor yang masih produk sekunder ( hasil industry berupa barang-barang jadi dan spare-parts untuk industry) dengan industrilisasi akan diubah kea rah ekspor barang atau produk sekunder (dan jasa) dan impor barang-barang komplementer dan jasa.
            Sedangkan dalam arti formal, perekonomian Indonesia atau system ekonomi Indonesia menggunakan system ekonomi Pancasila dan system ekonomi yang berdasarkan UUD 1945 ( utamanya semua pasal  yang berasal dari idea Dr. Mohammad Hatta, yaitu pasal 33, pasal 34, dan lain-lain).[3]
Pada kenyataannya, krisis nilai tukar telah menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Nilai tukar rupiah yang merosot tajam sejak bulan Juli 1997 menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam triwulan ketiga dan triwulan keempat menurun menjadi 2,45 persen dan 1,37 persen. Pada triwulan pertama dan triwulan kedua tahun 1997 tercatat pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8,46 persen dan 6,77 persen. Pada triwulan I tahun 1998 tercatat pertumbuhan negatif sebesar -6,21 persen.
Merosotnya pertumbuhan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari masalah kondisi usaha sektor swasta yang makin melambat kinerjanya. Kelambatan ini terjadi antara lain karena sulitnya memperoleh bahan baku impor yang terkait dengan tidak diterimanya LC Indonesia dan beban pembayaran hutang luar negeri yang semakin membengkak sejalan dengan melemahnya rupiah serta semakin tingginya tingkat bunga bank. Kerusuhan yang melanda beberapa kota dalam bulan Mei 1998 diperkirakan akan semakin melambatkan kinerja swasta yang pada giliran selanjutnya menurunkan lebih lanjut pertumbuhan ekonomi, khususnya pada triwulan kedua tahun 1998.
Sementara itu perkembangan ekspor pada bulan Maret 1998 menunjukkan pertumbuhan ekspor nonmigas yang menggembirakan yaitu sekitar 16 persen. Laju pertumbuhan ini dicapai berkat harga komoditi ekspor yang makin kompetitif dengan merosotnya nilai rupiah. Peningkatan ini turut menyebabkan surplus perdagangan melonjak menjadi 1,97 miliar dollar AS dibandingkan dengan 206,1 juta dollar AS pada bulan Maret tahun 1997. Impor yang menurun tajam merupakan faktor lain terciptanya surplus tersebut. Impor pada bulan Maret 1998 turun sebesar 38 persen sejalan dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi.
4.      Hubungan Indonesia-China
Hubungan Indonesia China memiliki akar sejarah yang panjang. Interaksi antara nenek moyang bangsa China dengan nenek moyang bangsa Indonesia telah dimulai sejak 2000 tahun lalu. Hubungan erat ini menemukan momentum simboliknya dalam kisah perjalanan muhibah Cheng Ho yang sangat sangat masyhur pada abad 14. Salah satu bukti budaya yang menunjukkan interaksi itu adalah bedug yang digunakan (hanya) oleh masjid-masjid di Indonesia. Bedug itu merupakan bawaan dari China.
Di era modern, hubungan kedua negara dimulai tahun 1950, tahun kedua setelah RRC didirikan oleh Partai Komunis China (PKC) pada tahun 1949. Indonesia tercatat sebagai negara pertama yang mengakui berdirinya China baru di bawah pemerintahan komunis. Selanjutnya di era Soekarno, hubungan kedua negara pernah sangat erat, ditandai dengan terbentuknya Poros Jakarta-Peking yang menjadi simbol kedekatan Indonesia dengan komunisme kala itu. Tahun 1955 saat digelar Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, Perdana Menteri China Zhou Enlai datang sebagai delegasi China.
KAA sendiri bagi China merupakan momentum sejarah penting. Di sanalah eksistensi China sebagai negara baru dikukuhkan di dunia internasional. Karena itu tak heran jika cerita tentang KAA bisa ditemukan di kurikulum mata pelajaran sejarah di sekolah-sekolah China. Warga China yang berkunjung ke Indonesia juga kerap menyempatkan diri mengunjungi Museum KAA di Bandung. Dalam seminar yang saya ikuti itu, tampak sekali bagaimana para delegasi China memandang penting momentum KAA dengan berulang kali menyebutnya dalam speech mereka.
Setelah Soekarno jatuh, hubungan Indonesia-China memburuk. Tahun 1967, Soeharto yang tengah membangun dinasti Orde Baru memutuskan hubungan diplomatic dengan China. Maklum, Seoharto menggunakan komunisme sebagai kambing hitam untuk melegitimasi kekuasaannya, dan China adalah salah satu punggawa komunisme dunia. Maka bisa dipahami jika Soeharto memilih untuk menjauhi China dan merapat ke Barat, terutama Amerika. Hubungan kedua negara baru kembali normal pada tahun 1990 setelah 12 tahun sebelumnya China mencanangkan reformasi dan keterbukaan.
Hubungan kedua negara mulai berkembang pesat setelah reformasi 1998 Indonesia digulirkan. Krisis financial Asia 1997 memberi pelajaran bagi Indonesia dan negara-negara di kawasan bahwa mereka perlu menjalin hubungan lebih erat dengan negara-negara Asia Timur, khususnya China, untuk mencegah pengalaman serupa terulang. Maka sejak itu hubungan Indonesia-China semakin erat.
Puncaknya adalah ditandatanganinya deklarasi kemitraan strategis Indonesia-China oleh Presiden SBY dan Presiden Hu Jintao pada April 2005 yang dilanjutkan dengan penandatanganan rencana aksi (plan of action) pada 21 Januari 2010 lalu. Selama rentang waktu 5 tahun itu, misalnya, hubungan perdagangan kedua negara terus meningkat. Sebagai gambaran, pada tahun 2005 kedua negara menargetkan volume perdagangan antarkeduanya akan meningkat mencapai angka 30 miliar dolar dalam 5 tahun, atau dengan kata lain di tahun 2010. Namun target itu telah tercapai pada tahun 2008. Mengingat pesatnya pertumbuhan volume dagang antar dua negara, maka target pun dinaikkan menjadi 50 miliar dolar pada tahun 2015.
Namun tentu saja angka bukan segalanya. Selain aspek kuantitatif, aspek kualitatif juga penting untuk diperhatikan. Hubungan ekonomi kedua negara tidak bisa semata-mata dilihat dari meningkatnya volume perdagangan. Maka, ada tiga prinsip yang disepakati keduanya agar hubungan ekonomi yang terjalin tidak semata-mata bagus dari segi kuantitas, tetapi juga tinggi dari segi kualitas. Tiga prinsip itu adalah saling berimbang, berkelanjutan, dan saling menguntungkan. [4]


5.      Rahasia dibalik Kesuksesan Produk Cina Menguasai Pasar Dunia
Di saat negara kita sedang berjuang mati-matian untuk meningkatkan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, di lain pihak Cina justru mengalami tekanan dari dunia agar mau mengambangkan nilai mata uangnya yang dinilai dipatok terlau rendah. Pematokan nilai yuan yang sudah dilakukan semenjak tahun 1994 ini diprotes karena dianggap sebagai penyebab utama miringnya harga produk-produk Cina di pasaran dunia (Sarnianto, 2004). Kekhawatiran tersebut memang beralasan melihat hampir dapat dikatakan produk-produk berlabel made in China medominasi pasar dunia mulai dari sekedar peniti sampai perangkat elektronika canggih.
Banyak faktor yang mendorong perekonomian Cina sehingga bisa menjadi seperti sekarang ini, dimana dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata diatas 7% setiap tahunnya telah mengantarkan Cina sebagai salah satu raksasa perekonomian dunia. Faktor nilai tukar mata uang sudah pasti bukanlah satu-satunya penyebab produk-produk negara dengan populasi terbesar di dunia ini mampu berjaya menguasai pasar dunia. Hal ini tentu saja dapat dimaklumi mengingat kalau hanya faktor itu, seharusnya Indonesia juga sudah bisa mengambil mamfaat dari nilai tukar rupiah yang sangat menyedihkan.
Salah satu hal lain yang lebih penting dari itu adalah faktor apakah yang menyebabkan Cina bisa begitu produktif untuk dapat menghasilkan produk-produk berkualitas yang sangat diterima oleh pasar dunia. Negara-negara G-7 saja bahkan secara terang-terangan merangkul Cina yang saat ini menduduki peringkat keempat dalam perdagangan dunia, di bawah AS, Jerman dan Jepang untuk mau berbagi dan berbicara dalam forum mereka (Pikiran Rakyat, 2 Oktober 2004). Ternyata selain karena aliran modal asing dan teknologi tinggi, yang justru sangat menarik dari pengalaman Cina adalah besarnya peran Usaha Kecil dan Menegah (UKM) dan bisnis swasta daerah yang disebut sebagai Township and Village Enterprises (TVEs) dalam menopang kekuatan ekspornya.
Peran Penting TVEs Bagi Perekonomian Cina
Sumbangsih TVEs bagi perekonomian Cina memang tidak bisa disepelekan. TVEs yang semula merupakan perkembangan dari industri pedesaan yang digalakkan oleh pemerintah Cina. Jika pada tahun 1960 jumlahnya hanya sekitar 117 ribu, namun semenjak reformasi tahun 1978 jumlahnya mengalami pertumbuhan spektakuler menjadi 1,52 juta. Apabila dilihat dari sisi penyediaan lapangan kerja, TVEs di akhir tahun 1990-an telah menampung setengah dari tenaga kerja di pedesaan Cina.
Walaupun perkembangan TVEs ini sempat mengalami pasang surut dan tidak merata di seluruh wilayah Cina, namun secara rata-rata mengalami pertumbuhan yang sangat mengesankan. Produksi dari TVEs meningkat dengan rata-rata 22,9 persen pada periode 1978-1994. Secara nasional, output TVEs pada tahun 1994 mencapai 42% dari seluruh produksi nasional. Sedangkan untuk volume ekspor, TVEs memberikan kontribusi sebesar sepertiga dari volume total ekspor Cina pada tahun 1990-an (Pamuji, 2004).
Dilihat dari sisi perdagangan secara angka di atas kertas memang masih terlihat bahwa ekspor kita masih surplus dibanding Cina. Menurut data yang diperoleh dari Dubes RI di China, bahwa tepatnya sampai dengan 3 Agustus 2004 dilihat dari sudut pandang perdagangan luar negeri China, saat ini Indonesia merupakan negara tujuan ekspor urutan ke-17 dengan nilai 2,66 miliar dollar AS atau 1,03 persen dari total ekspor China yang mencapai nilai 258,21 miliar dollar AS. Indonesia juga menjadi negara asal impor ke-17 bagi China dengan nilai ekspor 3,44 miliar dollar AS (Osa, 2004).
Akan tetapi dalam kenyataan di lapangan tampak bahwa barang-barang produksi Cina terlihat di mana-mana. Kita tidak menutup mata bahwa banyak produk dari negeri panda tersebut yang masuk secara ilegal ke Indonesia sehingga tidak ikut tercatat secara resmi dalam laporan tersebut. Namun penjelasan dari Ketua Umum Kadin Indonesia Komite Cina, Sharif Cicip Sutardjo sangat masuk akal. Sebagaimana dikutip dari wawancara dengan Sinar Harapan dijelaskan bahwa ekspor Indonesia ke Cina memang besar namun sebagian besar merupakan bahan mentah dengan jumlah item yang sangat sedikit, kurang lebih hanya 15 item seperti migas, CPO, karet, kayu, dan lain-lain. Sedangkan dari Cina kita mengimpor ratusan item, mulai dari ampas, hasil pertanian, peralatan sampai ke motor dan mobil. Sebagian besar perusahaan yang menghasilkan produk-produk itu semua di Cina hanyalah industri swasta, UKM atau TVEs (www.sinarharapan.co.id/ ekonomi/industri/2003/1224/ind2.html).
Kenyataan ini sungguh berkebalikan dengan keadaan UKM kita yang kurang diberdayakan padahal memiliki potensi yang sangat besar. Jumlah UKM mencakup 99 % dari total seluruh industri di Indonesia dan menyerap sekitar 56 % dari jumlah total seluruh pekerja Indonesia (Rochman, 2003). Untuk itu sangat perlu kita lihat upaya apa saja yang telah dilakukan oleh pemerintah Cina untuk memajukan industri swasta khusunya UKM, mengingat UKM kita juga sebenarnya punya kemampuan. Hal ini terbukti pada saat krisis moneter justru sektor UKM yang mampu bertahan.
Usaha Pemerintah Cina yang Dirintis Sejak Lama
Apa yang sekarang Cina nikmati dari industrinya terutama TVEs merupakan hasil usaha bertahun-tahun. Pada tahun 1986 dipimpin oleh State Science and Technology Commission (SSTC) Cina memperkenalkan Torch Program yang bertujuan untuk mengembangkan penemuan-penemuan dan penelitian-penelitian oleh universitas dan lembaga riset pemerintah untuk keperluan komersialisasi. Hasil yang diperoleh kemudian ditindaklanjuti dengan membuat New Technology Enterprises (NTEs). Selanjutnya SSTC mengembangkan 52 high-tchnology zones yang serupa dengan research park di Amerika dengan bertumpu pada NTEs tadi (Mufson, 1998). Walaupun NTEs ini bersifat perusahaan bersakala besar namun kedepannya memiliki peran sebagai basis dalam pengembangan teknologi untuk industri-industri kecil dan menengah.
Pemerintah Cina kemudian masih dengan SSTC mengeluarkan kebijakan untuk mendukung TVEs yang disebut sebagai The Spark Plan. Kebijakan ini terdiri dari 3 kegiatan utama yang berangkaian. Pertama, memberikan pelatihan bagi 200.000 pemuda desa setiap tahunnya berupa satu atau dua teknik yang dapat diterapkan di daerahnya. Kegiatan kedua dilakukan dengan lembaga riset di tingkat pusat dan tingkat provinsi guna membangun peralatan teknologi yang siap pakai di pedesaan. Dan yang ketiga adalah dengan mendirikan 500 TVEs yang berkualitas sebagai pilot project (Pamuji, 2004).
Pemerintah Cina juga berusaha menempatkan diri sebagai pelayan dengan menyediakan segala kebutuhan yang diperlukan oleh industri. Mulai dari hal yang paling essensial dalam memulai sebuah usaha yaitu birokrasi perizinan yang mudah dan cepat, dimana dalam sebuah artikel dikatakan bahwa untuk memulai usaha di Cina hanya membutuhkan waktu tunggu selama 40 hari, bandingkan dengan Indonesia yang membutuhkan waktu 151 hari untuk mengurus perizinan usaha (www.suaramerdeka.com/harian/0503/01/eko07.htm).
Tidak ketinggalan infrastruktur penunjang untuk memacu ekspor yang disiapkan oleh pemerintah Cina secara serius. Bila pada tahun 1978 total panjang jalan raya di Cina hanya 89.200 km, maka pada tahun 2002 meningkat tajam menjadi 170.000 km. Untuk pelabuhan, setidaknya saat ini Cina memiliki 3.800 pelabuhan angkut, 300 di antaranya dapat menerima kapal berkapasitas 10.000 MT. Sementara untuk keperluan tenaga listrik pada tahun 2001 saja Cina telah mampu menyediakan sebesar 14,78 triliun kwh, dan saat ini telah dilakukan persiapan untuk membangun PLTA terbesar di dunia yang direncanakan sudah dapat digunakan pada tahun 2009 (Wangsa, 2005).
SDM Terbaik Sebagai Pengusaha
Dalam hal SDM untuk dunia usaha Cina juga tidak tanggung-tanggung dalam mengarahkan orang-orang terbaiknya untuk menjadi pengusaha yang handal. Sejak tahun 1990-an, Cina telah mengirimkan ribuan tenaga mudanya yang terbaik untuk belajar ke beberapa universitas terbaik di Amerika Serikat, seperti Harvard, Stanford, dan MIT. Di Harvard saja, Cina telah mengirimkan ribuan mahasiswanya untuk mempelajari sistem ekonomi terbuka dan kebijakan pemerintahan barat, walaupun Cina masih menerapkan sistim ekonomi yang relatif tertutup. Sebagai hasilnya, Cina saat ini telah memiliki jaringan perdagangan yang sangat mantap dengan Amerika, bahkan memperoleh status sebagai The Most Prefered Trading Partner (Kardono, 2001).
Pemerintah Cina juga membujuk para overseas Chinese scholars and professionals, terutama yang sedang dan pernah bekerja di pusat-pusat riset dan MNCs di bidang teknologi di seluruh penjuru dunia untuk mau pulang kampung dan membuka perusahaan baru di Cina. Mantan-mantan tenaga ahli dari Silicon Valley dan IBM ini misalnya, diharapkan nantinya juga akan dapat mempermudah pembukaan jaringan usaha dengan MNCs ex-employer lainnya yang tersebar di seluruh dunia (www.mail-archive.com/bhtv @paume.itb.ac.id/msg00042.html). Tentu saja bujukan itu dilakukan dengan iming-iming kemudahan dan fasilitas untuk memulai usaha, seperti insentif pajak, kemudahan dalam perizinan, dan suntikan modal.
6.      Dominasi produk Cina di Indonesia
Awalnya penduduk Indonesia sempat memboikot produk cina yang masuk ke pasaran indonesia, di karenakan apabila terlalu banyak produk yang masuk pasaran indonesia, maka produk dalam negeri dapat bersaing dengan produk cina yang terlalu banyak bererdar di indonesia. Tapi seiring perkembangan zaman yang terjadi lama kelamaan rakyat indonesia mampu menerima produk cina maupun produk dari luar negeri lainnya untuk merambah dunia bisnis Indonesia.
            Kebanyakan dari produk cina yang berkembang di pasaran indonesia, masyarakat indonesia sendiri banyak yang menyukai produk cina ynag elegan dengan harga yang terjangkau oleh isi dompet masyarakat. Selera yang di inginkan kebanyakan adalah dengan barang-barang elektronik produk cina yang banyak beredar di pasaran. Dengan harga yang relatif murah ketimbang dengan produk dalam negeri, model yang disajikan produk cina juga selalu mengikuti perkembangan jaman sekarang.
Ketergantungan Indonesia terhadap produk China dianggap semakin mengkhawatirkan. Dominasi China ini disinyalir karena minimnya industri dalam negeri dalam menghasilkan produk yang sama, sehingga kecenderungan impor meningkat.
Sedikitnya 30% dari nilai impor lima produk tertentu yang masuk ke Tanah Air sepanjang Januari-Agustus dikuasai oleh produk China. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, impor lima produk yakni elektronika, pakaian jadi, makanan dan minuman, alas kaki, dan mainan anak-anak selama Januari-Agustus mencapai US$962,8 juta.  Adapun nilai impor produk tertentu selama Januari-Agustus mencapai US$2,86 miliar.
Produk impor dari negeri Tirai Bambu itu tercatat menguasai pasar terbesar hampir di semua jenis produk. Kecuali produk makanan dan minuman yang impornya dikuasai Malaysia, produk China menguasai pangsa impor terbesar untuk produk elektronika, pakaian jadi, alas kaki, dan mainan anak-anak.
Dari total impor produk elektronika sebesar US$2,45 miliar, produk elektronika dari China menguasai 33,3% atau senilai US$817,9 juta. Untuk pakaian jadi, produk China menguasai pasar hingga 31,9% dari total nilai impor pakaian jadi US$109,4 juta.
Alas kaki dari China bahkan menguasai pangsa pasar lebih dari setengah nilai impor produk itu yang tercatat sebesar US$95,7 juta. Adapun produk mainan anak-anak dari China menguasai pangsa pasar hingga 70,6% dari total keseluruhan impor mainan anak-anak sebesar US$50,08 juta. Dominasi produk tertentu dari China tersebut diperkirakan akan terus berlanjut seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk di Tanah Air sementara di sisi lain industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis tidak bertambah sehingga menyebabkan impor terus meningkat. [5]
Tercatat bahwa produk  Cina, masih mendominasi barang impor nonmigas  ke Indonesia semester I-2012. Nilainya US$14,49 miliar dengan pangsa 19,33 persen. Urutan kedua  Jepang US$11,78 miliar (15,71 persen) dan Thailand US$5,76 miliar (7,68 persen). [6]
Dalam hal industri telepon selular, Cina adalah orang yg tersesat. Itu sebabnya standar internasional yang berlaku di daerah ini untuk sebagian besar. Namun Cina telah menjadi pasar komunikasi bergerak terbesar di dunia dengan 310 juta sambungan. Dalam enam bulan pertama tahun ini saja, 36.3 million telepon genggam dijual di Cina. Cina mobile memiliki pangsa pasar 60 persen; China Unicom memiliki pangsa pasar 32 persen. Pada semester pertama tahun ini, Cina menginvestasikan $ 2,7 milyar dalam infrastruktur jaringan dan akan menginvestasikan tambahan $ 4.3 juta pada semester kedua tahun ini. Kedua pemasok saja memperoleh $ 10 miliar dalam pendapatan pada semester pertama tahun ini dan mencapai keuntungan kotor $ 2,3 milyar.
Salah satu factor pendukung mengapa produk cina bisa dijual lebih murah karena di cina para pelaku usaha mendapat berbagai kemudahan dan insentif, misalnya menyangkut masalah perpajakan, ketenagakerjaan, danbunga murah dari perbankan. Di China bunga kredit perbankan untuk usaha hanya 4%-6% sedangkan di Indonesia 14%-16% per tahun. Selisih kemahalan dari unrus pembiayaan saja sudah mencapai angka 10%. Belum lagi para pelaku usaha masih dihapkan pada aturan dan birokrasi yang dapat menimbulkan biaya tinggi, ketserdiaan listrik yang terbatas, bahan baku yang semakin mahal dan soal ketenagakerjaan yang tidak kondusif bagi iklim investasi.[7]
7.      Dampak ketergantungan Indonesia terhadap produk Cina
Dalam empat tahun, nilai impor Indonesia dari Cina di luar sektor minyak dan gas meningkat lebih dari 140 persen. Jika pada awal krisis di tahun 1998 nilai impor dari Cina hanya 870,99 juta dollar AS, tahun 2002 nilainya telah mencapai 2,098 miliar dollar AS. Dalam periode sama, volumenya juga meningkat lebih dari dua kali lipat, dari 2,01 juta ton di tahun 1998 menjadi 4,773 juta ton pada tahun 2002. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, komoditas impor nonmigas terbesar dari Cina dilihat dari realisasi impor periode Januari-Agustus 2003 adalah jagung sebanyak 95,533 juta dollar AS. Volumenya 782,5 ton, diikuti komoditas buah-buahan segar dan dikeringkan senilai 52,058 juta dollar AS. [8]
Melihat fakta diatas makin jelas akibat yang akan ditimbulkan oleh masuknya produk cina ke indonesia. Di satu sisi, konsumen akan dimanjakan oleh produk-produk yang memiliki kualitas lumayan dengan harga yang jauh lebih murah, selain itu terdapatnya banyak variasi dari produk-produk yang tawarkan makin membuat konsumen makin dimanjakan.
Namun disisi lain, dampak dari masuknya produk-produk cina kepasaran indonesia jika tidak diantisipasi melalui tindakan serius dari seluruh pihak terkait maka secara perlahan akan membuat industri nasional mati.
Contoh kasus dapat kita lihat pada Industri Tekstil dan Produk Tekstil indonesia, masuknya produk sejenis dari cina langsung menyebabkan permintaan terhadap produk tekstil kita menurun. Dapat dilihat pada sentra-sentra perdagangan tekstil dan produk tekstil di indonesia seperti di pasar Tanah Abang dan factory Outlet di Bandung. Produk-produk cina mulai merambah pasar tersbut. Di Pasar Tanah Abang selaku pusat perbelanjaan tekstil yang bertaraf nasional telah kebanjiran produk-produk tekstil dari cina.
Kasus serupa juga terjadi pada produk-produk lain. DI Jakarta, produk negara tirai bambu ini gampang diperoleh, di antaranya di pusat perbelanjaan seputar Mangga Dua, Glodok, Pasar Pagi, dan Pasar Tanah Abang. Apa pun yang Anda cari, semua tersedia. Mulai dari alat elektronik hingga tekstil dan garmen, dari produk berteknologi tinggi hingga mainan anak-anak dan peniti.
Jadi jelas sekali bahwa dominasi produk Cina di Indonesia mempunyai pengaruh yang cukup besar apalagi bagi pengusaha local yang kalah bersaing dengan Cina.
8.      Solusi terhadap dominasi produk Cina di Indonesia
Kita sebaiknya bisa belajar dari kesuksesan Cina mengembangkan dunia usaha dan industrinya. Hal ini jauh lebih baik ketimbang hanya menggerutu melihat produk-produk Cina yang membanjiri pasar dalam negeri. Merajalelanya produk-produk Cina dengan harga yang murah dan berkualitas harus dilihat tidak hanya sebagai ancaman, namun juga sebagai pemicu agar Indonesia bisa bergerak ke arah perbaikan. Pada kesempatan ini penulis dengan keterbatasan kapasitas yang dimiliki akan mencoba merumuskan beberapa masukan berupa langkah yang sebaiknya kita tempuh berkaitan dengan apa yang telah dilakukan dan diraih oleh Cina.
1.      Pertama, yaitu kita harus mencoba mengkaji kebijakan-kebijakan Cina dalam perekonomian khususnya dalam memajukan dunia usahanya.
Setelah itu dirumuskan manakah yang bisa dan tepat untuk diterapkan di Indonesia. Hal ini mengingat keadaan , latar belakang, dan budaya Cina yang tidak sama dengan Indonesia.
2.      Langkah kedua yang bisa ditempuh adalah dengan mempererat hubungan kerja sama dengan Cina, tidak saja dalam ekonomi namun juga pada bidang-bidang lainnya yang dianggap penting.
 Dalam bidang ekonomi dan keamanan misalnya dengan membuat nota kesepahaman tentang kerjasama dalam penanganan penyelundupan di kedua negara. Bentuk kerjasama yang lain misalnya adalah dengan melakukan sinergi industri antara kedua negara. Seperti yang sudah berjalan pada industri lilin antara Indonesia dan Cina, dimana terdapat kesepakatn tidak tertulis dalam pembagian fokus industri, dengan pembagian industri hulu dan menegah yang ditangani Indonesia sedangkan hilir dipegang oleh Cina.
3.      Ketiga, adalah dengan menciptakan budaya wirausaha di Indonesia.
Hal ini bisa dilakukan dengan meniru langkah pemerintah Cina dengan kebijakan-kebijakannya dalam merangsang munculnya para pengusaha-pengusaha baru. Akan tetapi apabila dilihat lebih cermat, sebenarnya yang menjadi masalah utama di Indonesia terletak pada paradigma berpikir masyarakatnya. Di Indonesia hampir tidak ada kita kita lihat keinginan yang besar dari kalangan terdidik untuk menjadi pengusaha.
Penyebabnya bisa jadi karena malas dan takut mengambil resiko untuk berjuang dari nol apabila menjadi pengusaha. Masyarakat kita juga pada umumnya menaruh simpati yang lebih besar pada profesi-profesi yang secara praktis terlihat ekslusif, seperti dokter, akuntan, dan pengacara dibanding dengan wirausaha. Keadaan ini lebih diperburuk dengan sistem pendidikan kita yang cenderung mengabaikan pelajaran tentang kewirausahaan dan kepemimpinan. Hal ini sangat berkebalikan dengan budaya wirausaha yang sangat kental dari penduduk Cina.
4.      Langkah keempat adalah dengan memaksimalkan peran akademisi yaitu peneliti untuk menunjang dunia usaha.
 Selama ini diantara banyak kendala dunia usaha kita terutama UKM, yang paling besar adalah dari sisi teknologi dan metode yang tidak efisien dan jauh tertinggal dari pesaingnya di luar negeri. Untuk itu kiranya para peneliti mau turun dari menara gading untuk mau membantu penelitian industri-industri di Indonesia. Sudah saatnya penelitian yang dilakukan bisa lebih membumi sehingga dapat juga dinikmati oleh industri-industri kecil dan menengah. [9]
Selain itu juga dapat di atasi dengan cara :
 Perlunya peningkatan kualitas produk nasional
Melihat apa yang terjadi di lapangan, beralihnya konsumen ke produk-produk buatan cina serta tidak mampu bersaingnya produk nasional dibanding produk-produk cina perlu dicermati apa yang menyebabkan hal ini terjadi. Efisiensi sumberdaya, baik alam maupun manusia, penggunaan teknologi, dukungan dari pemerintah merupakan salah satu faktor yang menyebabkan ekonomi cina, dan produk-produknya begitu powerfull di pasaran. Para pengusaha harus memeras otak bagaimana bisa memproduksi barang bermutu dengan harga bersaing, harus menciptakan terobosan-terobosan baru untuk mengubah budaya kerja yang sudah ada sehingga mutu serta kuantitas produk dapat ditingkatkan. Pemanfaatan sumberdaya alam harus seefisien mungkin sehingga tidak ada yang tersiakan.
Jika cara seperti ini diterapkan, artinya produk yang dihasilkan oleh industri nasional berkualitas, maka gempuran dari produk-produk sejenis luar negeri tidak akan berpengaruh banyak. Selain peningkatan kualitas, hendaknya proses tersebut diiringi dengan selera konsumen. Karena pada kahirnya konsumenlah yang memegang peranan paling utama.
Peningkatan kualitas sumberdaya manusia Indonesia
Peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dilakukan melalui dunia pendidikan nasional. Seperti yang diterapkan di negara-negara berkembang yang beranjak menjadi negara maju seperti Jepang, Singapura, Malaysia mereka telah menempatkan sektor pendidikan sebagai dasar bagi pembangunan negaranya. Sehingga tidak ada jalan lain untuk jangka panjang bagi industri nasional dalam menghadapi persaingan global seperti menangkis masuknya produk-produk cina selain dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya melalui sektor pendidikan.





BAB III
PENUTUP

1.      Kesimpulan
Globalisasi masa kini memerlukan pembentukan generasi muda yang berdaya tahan melalui ilmu dan kemahiran Berdasarkan beberapa aspek globalisasi yang telah dibicarakan dapatlah dikatakan bahawa dunia hari ini atau di abad ke-21 sedang menghadapi satu cabaran dan perubahan yang sangat hebat yang belum pernah berlaku di abad yang lalu. Cabaran globalisasi dan implikasi terhadap ekonomi, budaya dan teknologi adalah luas dan mempunyai kesan yang negatif dan positif. Penerimaan terhadap perubahan haruslah difikirkan dan diterima secara positif dan membina untuk kemajuan diri,keluarga,agama,bangsa dan negara. Demikianlah antara fenomena globalisasi yang kini sedang mencabar seluruh jati diri golongan muda. Dari globalisasi kepada dominasi, golongan muda semakin terdedah kepada kehidupan dan nilai keperibadian yang terputus dan terpisah jauh dari budaya hidup timur.
Dalam upaya untuk mengantisipasi membanjirnya produk-produk yang berasal dari negeri Cina, perlu adanya sosialisasi bahwa masuknya produk Cina itu selain ancaman juga kesempatan bagi Indonesia untuk meningkatkan daya saing produknya.
Pengusaha Indonesia dituntut terus meningkatkan daya saingnya. Bukan menggerutu karena banyaknya barang Cina yang masuk. Masalah utama dalam kasus membanjirnya produk-produk Cina adalah Perlunya peningkatan kualitas produk nasional dan perlunya peningkatan kualitas sumberdaya manusia Indonesia. Perlu peran nyata dari pemerintah untuk menyelesaikan permasalhan-permasalahan yang telah disebutkan dimuka, seperti penerbitan peraturan-peraturan yang jelas mengenai hal-hal tersebut.
Solusi terbaik dari dominasi produk China, adalah pemerintah melindungi pasar domestik dan memberdayakan pedagang dalam negeri agar produk lokal mampu bersaing

                                                           DAFTAR PUSTAKA            
A.    F, Muchtar. 2010. Strategi Memenangkan Persaingan Usaha dengan Menyusun Bussines Plan. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Kartajaya, Hermawan. 2004. Positioning, Diferensiasi dan Brand: Memenangkan Persaingan dengan Segitiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Wibowo,I dan Samsul Hadi. 2009. Merangkul Cina: Hubungan Indonesia-Cina Pasca Soeharto. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Fishman, Ted. 2009 .  China Inc. Bagaimana Kedigdayaan China Menantang Amerika dan Dunia. 
P.H Soetrisno. 1992. Kapita Selekta Ekonomi Indonesia. Jakarta: Penerbit Andi
Tribun Jakarta Siang Online, edisi 06 Agustus 2012 pukul 18.30 WIB
Citraindonesia.com edisi 06 Agustus 2012 pukul 18.30 WIB
http://berita.liputan6.com/ diakses tanggal 06 Agustus 2012 pukul 18.30 WIB








[2] http://berita.liputan6.com/
[3] P.H, Soetrisno. Kapita selekta ekonomi Indonesia. Hlm 112
[4] Wibowo,I dan Samsul Hadi. 2009. Merangkul Cina: Hubungan Indonesia-Cina Pasca Soeharto. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

[5] Tribun Jakarta Siang Online, edisi 06 Agustus 2012
[6] Citraindonesia.com edisi 06 Agustus 2012
[7] Kartajaya, Hermawan. 2004. Positioning, Diferensiasi dan Brand: Memenangkan Persaingan dengan Segitiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
[8] http://bisnis-jabar.com/
[9] A. F, Muchtar. 2010. Strategi Memenangkan Persaingan Usaha dengan Menyusun Bussines Plan. Jakarta: Elex Media Komputindo.